“Kanna, kapan kamu akan membebaskan temanku.”
Pertanyaan Neo kemaren membuatku pusing. Bukannya Riki nggak apa-apa tanpa aku? Dia… masih bisa tertawa dengan yang lain. Sama Emi juga. Ah, aku cemburu, ya?
“Mia, aku boleh jujur nggak?”
“Hm? Apaan?”
“Aku… sebenarnya ingin bareng Riki lagi…” malu deh ngomongnya.
Mia menghela nafas dan menjawab, “Gitu, dong. Kanna harus jujur sama perasaan sendiri.”
“Ng…” aku hanya tersenyum.
Tapi aku harus bagaimana? Kalau aku dekat dengan Riki, tatapan itu akan tertuju lagi kepadaku. Aku takut…
“Kanna!” Neo memanggilku.
“Ada apa?”
“Bisa ke belakang gedung sekolah sebentar?”
“Memang ada apa?”
“Sudahlah… Cepetan ke sana.” Neo seperti memaksaku saja.
Aku terus melangkah ke belakang gedung, tapi…
“Heh, kamu” tiba-tiba teman-teman Emi ada di depanku.
“A-ada apa?” aku kaget. Padahal sudah lama mereka tidak menggangguku.
“Kamu sebenarnya pakai apa, sih?”
“Eh? Maksud kalian?” aku bingung.
“Emi ditolak Riki. Dan itu gara-gara kamu!”
“A-aku?”
Ga-gawat. Lagi-lagi seperti ini. Di depan orang banyak ini. Kenapa semua orang melihatku dengan mata seperti itu? Kenapa? Aku harus bagaimana kalau begini terus?
“Jawab, dong!” dia mendorongku hingga jatuh.
“…A-aku nggak tau apa-apa…” ucapku lirih.
“Hah? Apa? Nggak dengar, nih!” mereka membentakku.
Aku nggak bisa apa-apa lagi. Kenapa selalu begini. Kenapa nggak ada yang membantuku. Riki…
“Kalian ngapain?” tiba-tiba
“Riki!” semua kaget.
“Kenapa?”
“Eh, ka-kami hanya memberinya pelajaran! Itu saja” jawab mereka gugup.
Riki hanya terdiam. Dia berjalan ke arahku. Aku berdiri. Tapi nggak ada yang bisa aku ucapkan. Aku nggak bisa membela diriku sendiri.
“Kanna nggak salah, kok. Aku… memang suka dia”
“Eh?!” semuanya terkejut. Semua orang seperti tidak ada yang percaya.
“Kenapa? Aku memang suka Kanna. Aku hanya ingin bersama dia. Aku nggak bisa dengan orang lain.” Riki mulai menatapku. Mukanya merah. Begitu serius.
Aku bingung harus menjawab apa. Aku ingin bersama Riki lagi. Tapi…
“…Kalian semua, kumohon mengerti perasaanku. Biarkan aku dengannya. Jangan buat aku dengan Kanna menjadi jauh…”
“…Riki…” aku kaget. Riki… ternyata dia benar-benar menyukaiku. Tapi… aku malah tidak mempercayainya.
“Kalian…”
“Emi!” Emi tiba-tiba muncul dari belakang.
“Aku… yang salah.” ucap Emi seperti ingin minta maaf.
“Maaf, ya… Aku sama sekali tidak memikirkan perasaan Riki. Kanna…” dia menatap ke arahku.
“I-iya?”
“Aku benar-benar minta maaf. Aku sekarang tau, Riki memilih Kanna. Karena itu, aku ingin melihat Riki senang.” ucapnya malu.
“Eh?” itu maksudnya…
“Tentu saja dengan Kanna. Yang bisa berada di sisi Riki hanya Kanna seorang.” Emi tersenyum.
“Kalian juga minta maaf, dong.”
“Ah, i-iya.”
Mereka semua minta maaf. Aku lega karena kejadian tadi. Aku bisa bersama Riki lagi. Dan semuanya bisa mengerti. Aku juga bisa percaya, kalau Riki memang suka aku.
“Wah… ada yang lagi bahagia, nih.” Neo dan Mia menghampiri kami.
“Mia…” aku berlari ke arahnya.
“Iya, iya. Tadi kami dengar semuanya, kok.”
“Riki kata-katanya gitu banget. kumohon mengerti perasaanku. Biarkan aku dengannya. Jangan buat aku dengan Kanna jauh.” Neo meledek Riki.
“Ne-Neo…” Riki mulai mengamuk, mukanya bertambah merah.
“Hyaa, maaf maaf.”
“…Tapi… itu semua benar, kok…” Riki menatapku. Dia tersenyum.
Aku kebingungan. Mukaku merah padam. Senyumannya membuatku serasa mau mati.
“Ehm…” mereka berdua tiba-tiba menengahi.
“Kita rayain, yuk!” ajak Mia girang.
“Iya, tuh. Riki yang traktir!” Neo ikut-ikutan.
“Bilang aja kamu pingin ditraktir.” Riki menjitak Neo.
“Haha, ketahuan, deh.” Neo bertindak bodoh.
“Hehe…” aku tertawa.
“Wah, Kanna ngetawain aku!” Neo cemberut.
“Nggak, habisnya…” aku menahan tawaku.
“Eh, Riki mukanya merah tuh lihat Kanna ketawa. Riki mesum, nih!” Neo menggoda Riki.
“Si-siapa yang mesum? Dasar otak udang!” Riki mengejar-ngejar Neo yang berusaha melarikan diri.
“…Untung, ya?” Mia menepuk pundakku.
“Ng” benar-benar beruntung.
Kini aku mengerti. Perasaan ini tidak seharusnya dibuang. Aku akan menanti sampai perasaan ini terbalas. Sampai akhirnya perasaan ini terbalas, aku akan terus berusaha. Terus melihat langit yang luas. Hingga akhirnya bebas terbang.
… TO BE CONTINUED …
Monday, February 22, 2010
Sunday, February 14, 2010
TRIANGLE LOVE ~story 6~
Dua minggu berlalu. Sejak saat itu, sama sekali aku tidak bicara dengan Kanna. Aku hanya melihatnya. Sekarang dia bisa tersenyum kembali. Mungkin begini lebih baik. Dia bahagia, kan? Itu sudah cukup untukku.
“Kamu nggak apa-apa, Rik?” Neo menepuk pundakku.
“Ah, iya… aku sehat.”
“…Jangan dipaksa, ah.”
“Nah, tuh. Neo khawatir, kan?”
“Si-siapa yang khawatir sama kamu?!” muka Neo memerah
“Ah, mukamu merah, tuh”
“Apaan, sih?! Kau ini!”
Haha, menyenangkan. Atau aneh, ya? Hari-hariku menjadi seperti biasa lagi. Tapi… Emi dari kemaren ndeketin aku terus, nih. Jadi nggak enak.
“Riki!” tiba-tiba dari belakang Emi mengagetkanku. Ah, panjang umur nih orang.
“Lho? Riki nggak kaget?” tanyanya.
“Mana mungkin dia kaget. Kamu tuh dari kemaren kenapa, sih ndeketin Riki terus?” Neo yang menjawab.
“Apa, sih? Cemburu, ya?” Emi menggodanya.
“Si-siapa yang cemburu?!” Neo ngamuk lagi.
“Haha, cemburu, cemburu…” Emi terus meledeknya.
“Cewek sialan! Kumakan kau!” Neo dan Emi malah kejar-kejaran.
“Hei… sudah, dong” aku berusaha menenangkan walaupun nggak ada hasilnya.
Ng? Kanna! Kami ketemu mata lagi. Tapi pasti dia memalingkan wajah. Repot, deh.
“Eh, eh, Riki ikut aku bentar, dong” ajak Emi saat istirahat.
“Hah? Mau apa?” tanyaku.
“Po-pokoknya ikut aku bentar.” Emi menarik-narikku.
“I-iya, deh…”
Dia mengajakku ke belakang gedung sekolah. Sepertinya tujuannya ke tempat sepi, deh.
“Mau apa,sih?” tanyaku
“Ah, ng… itu… Aku…Riki mau nerima aku?”
“Hah? Bilangnya ke ketua tim basket cewek, dong. Lagian tim baket cowok sudah penuh.” jawabku dengan polosnya.
“Eh? Bu-bukan nerima jadi anggota tim! Itu… Ri-Riki mau nerima aku jadi pacar Riki nggak?” muka Emi merah padam
“EH?!” teriakku dalam hati.
“Ri-Riki! Mau, kan?” tatapan matanya penuh dengan harapan.
“…nggak bisa. Aku nggak ada perasaan apa-apa ke Emi.”
“Ah, kenapa? Nggak suka juga nggak apa, kok. Jadi pacarku, ya? Ya?” paksanya.
“…kamu…”
“Iya?”
“Padahal Kanna sudah menangis karena dia mengira aku nggak suka sama dia. Tapi sekarang, kamu malah ingin berpacaran denganku tanpa ada perasaan.”
“…Riki, kamu… jangan-jangan…”
“…Ng, aku hanya suka Kanna. Maaf.” Aku menolaknya.
Emi gemetaran. Dia berlari ke dalam gedung sekolah. Aku memang hanya menyukai Kanna seorang. Tidak bisa dengan orang lain.
“Dia nangis, tuh.”
“…kamu dengar, ya? Neo?”
“Maaf, deh… sengaja...”
“Kamu jadi kayak mata-mata, deh. Haha”
Aku duduk di bawah pohon, tertutupi bayangan yang sejuk. Melihat ke arah langit. Indah sekali. Aku ingin bersama Kanna lagi. Padahal kami baru 1 minggu jadian.
“Eh, Rik…” Neo duduk di sebelahku.
“Ng?”
“Gimana kalau kamu menyatakan perasaan sekali lagi ke dia…”
…TO BE CONTINUED …
“Kamu nggak apa-apa, Rik?” Neo menepuk pundakku.
“Ah, iya… aku sehat.”
“…Jangan dipaksa, ah.”
“Nah, tuh. Neo khawatir, kan?”
“Si-siapa yang khawatir sama kamu?!” muka Neo memerah
“Ah, mukamu merah, tuh”
“Apaan, sih?! Kau ini!”
Haha, menyenangkan. Atau aneh, ya? Hari-hariku menjadi seperti biasa lagi. Tapi… Emi dari kemaren ndeketin aku terus, nih. Jadi nggak enak.
“Riki!” tiba-tiba dari belakang Emi mengagetkanku. Ah, panjang umur nih orang.
“Lho? Riki nggak kaget?” tanyanya.
“Mana mungkin dia kaget. Kamu tuh dari kemaren kenapa, sih ndeketin Riki terus?” Neo yang menjawab.
“Apa, sih? Cemburu, ya?” Emi menggodanya.
“Si-siapa yang cemburu?!” Neo ngamuk lagi.
“Haha, cemburu, cemburu…” Emi terus meledeknya.
“Cewek sialan! Kumakan kau!” Neo dan Emi malah kejar-kejaran.
“Hei… sudah, dong” aku berusaha menenangkan walaupun nggak ada hasilnya.
Ng? Kanna! Kami ketemu mata lagi. Tapi pasti dia memalingkan wajah. Repot, deh.
“Eh, eh, Riki ikut aku bentar, dong” ajak Emi saat istirahat.
“Hah? Mau apa?” tanyaku.
“Po-pokoknya ikut aku bentar.” Emi menarik-narikku.
“I-iya, deh…”
Dia mengajakku ke belakang gedung sekolah. Sepertinya tujuannya ke tempat sepi, deh.
“Mau apa,sih?” tanyaku
“Ah, ng… itu… Aku…Riki mau nerima aku?”
“Hah? Bilangnya ke ketua tim basket cewek, dong. Lagian tim baket cowok sudah penuh.” jawabku dengan polosnya.
“Eh? Bu-bukan nerima jadi anggota tim! Itu… Ri-Riki mau nerima aku jadi pacar Riki nggak?” muka Emi merah padam
“EH?!” teriakku dalam hati.
“Ri-Riki! Mau, kan?” tatapan matanya penuh dengan harapan.
“…nggak bisa. Aku nggak ada perasaan apa-apa ke Emi.”
“Ah, kenapa? Nggak suka juga nggak apa, kok. Jadi pacarku, ya? Ya?” paksanya.
“…kamu…”
“Iya?”
“Padahal Kanna sudah menangis karena dia mengira aku nggak suka sama dia. Tapi sekarang, kamu malah ingin berpacaran denganku tanpa ada perasaan.”
“…Riki, kamu… jangan-jangan…”
“…Ng, aku hanya suka Kanna. Maaf.” Aku menolaknya.
Emi gemetaran. Dia berlari ke dalam gedung sekolah. Aku memang hanya menyukai Kanna seorang. Tidak bisa dengan orang lain.
“Dia nangis, tuh.”
“…kamu dengar, ya? Neo?”
“Maaf, deh… sengaja...”
“Kamu jadi kayak mata-mata, deh. Haha”
Aku duduk di bawah pohon, tertutupi bayangan yang sejuk. Melihat ke arah langit. Indah sekali. Aku ingin bersama Kanna lagi. Padahal kami baru 1 minggu jadian.
“Eh, Rik…” Neo duduk di sebelahku.
“Ng?”
“Gimana kalau kamu menyatakan perasaan sekali lagi ke dia…”
…TO BE CONTINUED …
TRIANGLE LOVE ~story 5~
“Yo, kapten!”
“Ah, Neo…” jawabku lesu.
“Ng? Riki lagi nggak semangat, nih akhir-akhir ini. Ada masalah?”
“…” aku hanya diam.
Kanna mutusin aku begitu saja. Rasanya kayak mau mati aja. Gara-gara dia diomongin yang nggak-nggak sama mereka semua. Payah, deh. Aku juga nggak langsung bilang kalau aku suka dia. Tapi, kan ya yang namanya bilang ‘suka’ itu sulit.
“Woi!”
“Hwaa! Ne-Neo…” aku kaget
“Kamu dari kemaren kenapa, sih? Di kelas bengong, di kantin salah beli jajan, waktu latihan klub kamu nggak bisa masukin bola sama sekali. Padahal kan kamu kaptennya.” Neo menggerutu.
“…Neo khawatir, ya?” kata-kata polos ini keluar begitu saja dari mulutku
“Ng-nggak!! Si-siapa yang khawatir, bodoh!!!” Neo mengamuk dengan wajah merah
“Hehe, iya, deh iya…”
Besok aku coba jelasin ke Kanna, deh.
Besoknya, aku menunggunya di depan gerbang sekolah. Sudah dari tadi aku menunggunya, tapi dia tidak muncul-muncul juga. Rasanya nggak tenang.
“Ah, Riki!”
“Ng? Emi?” Emi berlari ke arahku.
“A-anu…, Riki marah sama aku?” wajah Emi bertanya-tanya.
“…Nggak, kok.” jawabku sambil tersenyum. Sebenarnya, sih… agak marah juga.
“Ah, sungguh? Ma-makasih, ya.”
Aku hanya terus tersenyum. Bingung. Kenapa dia sesenang ini?
Ng? Ah, Ka-Kanna! Di-dia… sejak kapan di situ? Ah, dia lari masuk ke dalam sekolah.
“Kanna!” aku mengejarnya.
“…Riki…”
“Ah, maaf Emi. Aku duluan, ya”
Aku terus mengejarnya. Dia cepat sekali, sih!
“Kanna!!” aku berhasil menarik tangannya.
“Le-lepas!”
“Diam dulu!!” teriakku. “diam dulu… sebentar…”
Dia akhirnya diam. Karena di sini ramai, aku mengajaknya ke belakang gedung. Aku menghela nafas panjang-panjang dan mulai bicara.
“…Kanna benci aku?”
“…” dia hanya diam saja.
“jawab, dong… aku mohon…”
“Ja-jangan bersikap begitu! A-aku nggak benci Riki. Aku hanya nggak ingin…Riki bohong, kan?” tiba-tiba dia bertanya.
“Eh?”
“Bohong, kan? Kata ‘suka’ waktu itu bohong, kan?” wajahnya seperti mau menangis.
“Nggak. A-aku… aku…”
Nggak bisa. Aku nggak bisa mengatakannya. Benar-benar sulit.
“…Tinggalkan aku.” Kanna menundukkan kepalanya.
Kenapa? Aku mencintainya. Tapi kenapa sepatah kata itu sungguh sulit untuk diucapkan.
Aku meninggalkannya. Sendirian. Aku mendengar tangisannya. Dia seperti kesakitan. Disaat seperti ini aku malah meninggalkannya. Ah,
“…Neo?” aku melihat Neo yang sepertinya sedang menungguku dari tadi.
“Itu masalahmu?” tanyanya
“…ng, begitulah…” aku tersenyum seperti biasa.
“Jangan senyum gitu, dong. Kamu nggak ingin kembali ke sana?”
“Mana bisa. Aku… kalau aku dekat dengannya, itu bakal membuatnya tambah sedih.”
Aku tau. Aku tau dia sedih karena aku. Dia menangis karena aku. Lalu apa? Apa yang bisa aku lakukan untuknya…?
... TO BE CONTINUED ...
“Ah, Neo…” jawabku lesu.
“Ng? Riki lagi nggak semangat, nih akhir-akhir ini. Ada masalah?”
“…” aku hanya diam.
Kanna mutusin aku begitu saja. Rasanya kayak mau mati aja. Gara-gara dia diomongin yang nggak-nggak sama mereka semua. Payah, deh. Aku juga nggak langsung bilang kalau aku suka dia. Tapi, kan ya yang namanya bilang ‘suka’ itu sulit.
“Woi!”
“Hwaa! Ne-Neo…” aku kaget
“Kamu dari kemaren kenapa, sih? Di kelas bengong, di kantin salah beli jajan, waktu latihan klub kamu nggak bisa masukin bola sama sekali. Padahal kan kamu kaptennya.” Neo menggerutu.
“…Neo khawatir, ya?” kata-kata polos ini keluar begitu saja dari mulutku
“Ng-nggak!! Si-siapa yang khawatir, bodoh!!!” Neo mengamuk dengan wajah merah
“Hehe, iya, deh iya…”
Besok aku coba jelasin ke Kanna, deh.
Besoknya, aku menunggunya di depan gerbang sekolah. Sudah dari tadi aku menunggunya, tapi dia tidak muncul-muncul juga. Rasanya nggak tenang.
“Ah, Riki!”
“Ng? Emi?” Emi berlari ke arahku.
“A-anu…, Riki marah sama aku?” wajah Emi bertanya-tanya.
“…Nggak, kok.” jawabku sambil tersenyum. Sebenarnya, sih… agak marah juga.
“Ah, sungguh? Ma-makasih, ya.”
Aku hanya terus tersenyum. Bingung. Kenapa dia sesenang ini?
Ng? Ah, Ka-Kanna! Di-dia… sejak kapan di situ? Ah, dia lari masuk ke dalam sekolah.
“Kanna!” aku mengejarnya.
“…Riki…”
“Ah, maaf Emi. Aku duluan, ya”
Aku terus mengejarnya. Dia cepat sekali, sih!
“Kanna!!” aku berhasil menarik tangannya.
“Le-lepas!”
“Diam dulu!!” teriakku. “diam dulu… sebentar…”
Dia akhirnya diam. Karena di sini ramai, aku mengajaknya ke belakang gedung. Aku menghela nafas panjang-panjang dan mulai bicara.
“…Kanna benci aku?”
“…” dia hanya diam saja.
“jawab, dong… aku mohon…”
“Ja-jangan bersikap begitu! A-aku nggak benci Riki. Aku hanya nggak ingin…Riki bohong, kan?” tiba-tiba dia bertanya.
“Eh?”
“Bohong, kan? Kata ‘suka’ waktu itu bohong, kan?” wajahnya seperti mau menangis.
“Nggak. A-aku… aku…”
Nggak bisa. Aku nggak bisa mengatakannya. Benar-benar sulit.
“…Tinggalkan aku.” Kanna menundukkan kepalanya.
Kenapa? Aku mencintainya. Tapi kenapa sepatah kata itu sungguh sulit untuk diucapkan.
Aku meninggalkannya. Sendirian. Aku mendengar tangisannya. Dia seperti kesakitan. Disaat seperti ini aku malah meninggalkannya. Ah,
“…Neo?” aku melihat Neo yang sepertinya sedang menungguku dari tadi.
“Itu masalahmu?” tanyanya
“…ng, begitulah…” aku tersenyum seperti biasa.
“Jangan senyum gitu, dong. Kamu nggak ingin kembali ke sana?”
“Mana bisa. Aku… kalau aku dekat dengannya, itu bakal membuatnya tambah sedih.”
Aku tau. Aku tau dia sedih karena aku. Dia menangis karena aku. Lalu apa? Apa yang bisa aku lakukan untuknya…?
... TO BE CONTINUED ...
Wednesday, February 3, 2010
TRIANGLE LOVE ~story 4~
Dia melihatku. Melihatku menangis. Benar-benar memalukan. Aku tidak bisa berdiri. Rasanya kaku.
“Mereka bicara apa lagi?”
“Eh?”
Mereka itu maksudnya Emi dan teman-temannya? Kalau ditanya begini, aku harus menjawab apa?
“…Riki, nggak suka…aku, kan?” kata-kata ini keluar begitu saja dari mulutku.
“Mereka bilang begitu, ya?”
“Aku tanya! Riki… Riki nggak suka, kan?!” aku mengatakannya tanpa melihat ke arah Riki
“Eh?”
“Aku…padahal banyak yang lebih baik daripada aku. Kenapa aku? Kenapa aku yang Riki pilih?!”
Aku nggak bisa menahan air mata ini lagi. Biarkan aku menangis. Biarkan aku bebas. Aku tidak ingin mereka melihatku dengan mata seperti itu!
“…putus.”
“A-apa…? Kanna bilang apa, sih?”
“Aku nggak ingin begini. Aku mohon, tinggalkan aku…”
Mungkin ini yang terbaik, ya? Mereka pasti tidak akan melihatku dengan tatapan mengerikan itu lagi.
“Kanna… tidak peduli dengan perasaanku…?”
“…?” aku mengangkat kepalaku. Melihat Riki. Kenapa wajah sedih itu?
Riki berjalan meninggalkanku. Benar-benar, deh… menyedihkan.
"Kanna!!!"
Mia? Dia mencariku?
“Tadi aku lihat Riki lari dari arah sini. Wajahnya aneh sekali."
Ah, Riki marah, ya? Gara-gara apa? Riki nggak suka aku, kan?
“Kanna kenapa menagis?" Mia duduk di sebelahku. Melihatku dengan wajah cemas.
“…Aku sudah putus…”
“Eh?! Siapa yang minta putus?"
"...Aku..."
"Ka-Kanna..."
"Nggak bisa... Aku nggak bisa begini. Percuma kalau Riki nggak suka aku!"
"Siapa yang bilang kalau Riki nggak suka Kanna?!"
"Eh?"
"Bukan Riki, kan? Buktinya dia bilang suka ke Kanna."
…Benar juga. Tepat satu minggu Riki bilang suka ke aku. Aku ingin mempercayai itu. Tapi aku tidak suka sikap mereka kepadaku. Nggak tahan.
“Sudahlah. Ini… lebih baik.” Aku meneteskan air mata lagi.
“Kanna…”
Hilang. Daun-daun yang berguguran itu sudah hilang terbakar. Sama dengan hatiku. Kebahagiaanku yang hanya sesaat. Aku tidak ingin mengingatnya lagi. Hari dimana kata ‘suka’ diucapkannya…
… TO BE CONTINUED …
“Mereka bicara apa lagi?”
“Eh?”
Mereka itu maksudnya Emi dan teman-temannya? Kalau ditanya begini, aku harus menjawab apa?
“…Riki, nggak suka…aku, kan?” kata-kata ini keluar begitu saja dari mulutku.
“Mereka bilang begitu, ya?”
“Aku tanya! Riki… Riki nggak suka, kan?!” aku mengatakannya tanpa melihat ke arah Riki
“Eh?”
“Aku…padahal banyak yang lebih baik daripada aku. Kenapa aku? Kenapa aku yang Riki pilih?!”
Aku nggak bisa menahan air mata ini lagi. Biarkan aku menangis. Biarkan aku bebas. Aku tidak ingin mereka melihatku dengan mata seperti itu!
“…putus.”
“A-apa…? Kanna bilang apa, sih?”
“Aku nggak ingin begini. Aku mohon, tinggalkan aku…”
Mungkin ini yang terbaik, ya? Mereka pasti tidak akan melihatku dengan tatapan mengerikan itu lagi.
“Kanna… tidak peduli dengan perasaanku…?”
“…?” aku mengangkat kepalaku. Melihat Riki. Kenapa wajah sedih itu?
Riki berjalan meninggalkanku. Benar-benar, deh… menyedihkan.
"Kanna!!!"
Mia? Dia mencariku?
“Tadi aku lihat Riki lari dari arah sini. Wajahnya aneh sekali."
Ah, Riki marah, ya? Gara-gara apa? Riki nggak suka aku, kan?
“Kanna kenapa menagis?" Mia duduk di sebelahku. Melihatku dengan wajah cemas.
“…Aku sudah putus…”
“Eh?! Siapa yang minta putus?"
"...Aku..."
"Ka-Kanna..."
"Nggak bisa... Aku nggak bisa begini. Percuma kalau Riki nggak suka aku!"
"Siapa yang bilang kalau Riki nggak suka Kanna?!"
"Eh?"
"Bukan Riki, kan? Buktinya dia bilang suka ke Kanna."
…Benar juga. Tepat satu minggu Riki bilang suka ke aku. Aku ingin mempercayai itu. Tapi aku tidak suka sikap mereka kepadaku. Nggak tahan.
“Sudahlah. Ini… lebih baik.” Aku meneteskan air mata lagi.
“Kanna…”
Hilang. Daun-daun yang berguguran itu sudah hilang terbakar. Sama dengan hatiku. Kebahagiaanku yang hanya sesaat. Aku tidak ingin mengingatnya lagi. Hari dimana kata ‘suka’ diucapkannya…
… TO BE CONTINUED …
Subscribe to:
Posts (Atom)