“Yo, kapten!”
“Ah, Neo…” jawabku lesu.
“Ng? Riki lagi nggak semangat, nih akhir-akhir ini. Ada masalah?”
“…” aku hanya diam.
Kanna mutusin aku begitu saja. Rasanya kayak mau mati aja. Gara-gara dia diomongin yang nggak-nggak sama mereka semua. Payah, deh. Aku juga nggak langsung bilang kalau aku suka dia. Tapi, kan ya yang namanya bilang ‘suka’ itu sulit.
“Woi!”
“Hwaa! Ne-Neo…” aku kaget
“Kamu dari kemaren kenapa, sih? Di kelas bengong, di kantin salah beli jajan, waktu latihan klub kamu nggak bisa masukin bola sama sekali. Padahal kan kamu kaptennya.” Neo menggerutu.
“…Neo khawatir, ya?” kata-kata polos ini keluar begitu saja dari mulutku
“Ng-nggak!! Si-siapa yang khawatir, bodoh!!!” Neo mengamuk dengan wajah merah
“Hehe, iya, deh iya…”
Besok aku coba jelasin ke Kanna, deh.
Besoknya, aku menunggunya di depan gerbang sekolah. Sudah dari tadi aku menunggunya, tapi dia tidak muncul-muncul juga. Rasanya nggak tenang.
“Ah, Riki!”
“Ng? Emi?” Emi berlari ke arahku.
“A-anu…, Riki marah sama aku?” wajah Emi bertanya-tanya.
“…Nggak, kok.” jawabku sambil tersenyum. Sebenarnya, sih… agak marah juga.
“Ah, sungguh? Ma-makasih, ya.”
Aku hanya terus tersenyum. Bingung. Kenapa dia sesenang ini?
Ng? Ah, Ka-Kanna! Di-dia… sejak kapan di situ? Ah, dia lari masuk ke dalam sekolah.
“Kanna!” aku mengejarnya.
“…Riki…”
“Ah, maaf Emi. Aku duluan, ya”
Aku terus mengejarnya. Dia cepat sekali, sih!
“Kanna!!” aku berhasil menarik tangannya.
“Le-lepas!”
“Diam dulu!!” teriakku. “diam dulu… sebentar…”
Dia akhirnya diam. Karena di sini ramai, aku mengajaknya ke belakang gedung. Aku menghela nafas panjang-panjang dan mulai bicara.
“…Kanna benci aku?”
“…” dia hanya diam saja.
“jawab, dong… aku mohon…”
“Ja-jangan bersikap begitu! A-aku nggak benci Riki. Aku hanya nggak ingin…Riki bohong, kan?” tiba-tiba dia bertanya.
“Eh?”
“Bohong, kan? Kata ‘suka’ waktu itu bohong, kan?” wajahnya seperti mau menangis.
“Nggak. A-aku… aku…”
Nggak bisa. Aku nggak bisa mengatakannya. Benar-benar sulit.
“…Tinggalkan aku.” Kanna menundukkan kepalanya.
Kenapa? Aku mencintainya. Tapi kenapa sepatah kata itu sungguh sulit untuk diucapkan.
Aku meninggalkannya. Sendirian. Aku mendengar tangisannya. Dia seperti kesakitan. Disaat seperti ini aku malah meninggalkannya. Ah,
“…Neo?” aku melihat Neo yang sepertinya sedang menungguku dari tadi.
“Itu masalahmu?” tanyanya
“…ng, begitulah…” aku tersenyum seperti biasa.
“Jangan senyum gitu, dong. Kamu nggak ingin kembali ke sana?”
“Mana bisa. Aku… kalau aku dekat dengannya, itu bakal membuatnya tambah sedih.”
Aku tau. Aku tau dia sedih karena aku. Dia menangis karena aku. Lalu apa? Apa yang bisa aku lakukan untuknya…?
... TO BE CONTINUED ...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment